- Back to Home »
- Fanfiction »
- The Moon
Posted by : Unknown
Wednesday, 26 August 2015
gambar hanya untuk Ilustrasi
‘Seandainya bulan ada dua, tak apa walau dia tidak asli, tak apa walau dia tidak nyata. Asalkan ada kalian berdua yang aku cintai. Pasti akan menyenangkan’ Aku menutup buku yang baru sajaku baca. Entah kenapa air mataku jatuh begitu saja, cerita dalam buku ini mengingatkanku akan seseorang yang pernah aku sayang. Dekat namun rasanya tidak dapat aku raih, terasa begitu jauh walau sebesar apapun usahaku sudah mencoba mengejarnya dan aku bersyukur telah mengatakan perasaanku dengan jujur. Semua itu membuatku lebih tenang.
Kisah itu berawal saat aku dibelinya dalam Pasar Gelap, tidak seperti pembeli yang lainnya. Dia menyelamatkan hidupku, membuat hidupku menjadi lebih bebas. Bukan menjadi budak yang akan selalu disiksa, namun menjadi pelayan yang akan terus setia bersamanya apapun yang terjadi. Aku benar-benar jatuh cinta dengan Tuanku saat pandangan pertama, tapi aku sadar. Aku sadar, aku hanyalah seorang makhluk yang rendah dan tidak pantas bersanding dengannya. Hanya dengan menatapnya, hanya dengan bersamanya, hanya dengan merasakan semua kasih sayang yang dia berikan aku sudah cukup senang walau terkadang begitu menyakitkan.
“Kirana. Bisa bantu aku merapikan barang-barang yang akan dibawa besok.” Suaramu yang memanggilku. Membuatku langsung merapikan pekerjaanku, dan bergegas mendekatimu yang berada diambang pintu dapur.
Aku yang tengah berdiri dihadapannya, dengan senyuman bagaikan orang yang baru saja melihat pujaan hatinya. “Tuan akan pergi lagi? Padahal baru kemarin pulang…” ujarku lirih. Aku tidak begitu berani menatap wajahnya. “tapi saya akan membantu merapikan barang-barang yang akan dibawa Anda…” lanjutku sambil tersenyum kecil.
Tangan yang hangat dan cukup besar itu, menyentuh kepalaku dengan lembut. “sudahku bilang bukan? Panggil saja dengan namaku” ucapnya “Lagi pula besok aku akan pergi bersamamu. Kita sudah jarang pergi bersama bukan? Ada orang yang mau ku kenali juga kepadamu.”
“Tidak biasanya anda mengajak saya. Memangnya kita akan kemana?” entah kenapa rasanya dadaku begitu hangat. Memang sudah lama aku tidak pernah bersama dengan Tuanku. Karena kesibukannya dan beberapa urusan bisnis yang membuatku jarang melihatnya.
“Nanti juga tau. Sekarang, Kirana bantu aku merapikan barang-barang yang akan dibawa, dan langsung rapikan barang-barangmu.” Aku langsung mengerjakan apa yang diperintahkannya. Beberapa barang yang akan di bawaannya ada gaun yang begitu cantik, entah kenapa hal ini membuat dadaku sakit. Padahal aku tidak tau apa yang akan dia lakukan dengan gaun-gaun ini.
Keesokan harinya aku telah mempersiapkan semuanya. Mulai dari sarapan, barang bawaan dan kendaraan yang akan digunakan. Aku memang cukup sigap dalam urusan rumah tangga, juga telah dipercayai sebagai wakil kepala pelayan untuk mengurus kediaman Notonegoro. Tuanku, Putra Ramadhansyah Notonegoro merupakan Putra termuda dari keluarga Notonegoro, walau dia terbilang muda tetapi sudah banyak bisnis yang digelutinya. Terlebih lagi saingan-saingannya, tidak akan bisa berkutik sedikit pun bila sudah berurusan dengannya.
“Selamat pagi, Kirana” sapa Putra. Suara yang lembut itu membuatku menatap sang pemilik suara. Jemari tangan yang tengah membetulkan kancing kemeja membuatku terkesima, terlebih lagi senyumannya yang lembut selalu membuat pipiku bersemu.
“Se-selamat pagi, tuan Putra…” sapaku sambil membungkukan diri untuk memberi hormat. Wajahnya yang biasa terlihat tenang, tengah menatapku dengan tatapan bingung dan mungkin sedikit kesal. Tentu saja hal itu membuatku bertanya-tanya apa aku melakukan kesalahan dan sepertinya aku tau apa yang membuatnya begitu. “Ke-kenapa tuan..ma-maksud saya Putra. Ah. Ma-maaf saya belum siap-siap. Padahal anda sudah siap. Sa-saya permisi dulu…”
“Kirana…”
Aku langsung berhenti, dan memandang Putra. Wajahnya yang tersenyum kembali membuatku sedikit tenang dengan segala kepanikanku.
“kemarin kau merapikan beberapa gaun yang aku bawa bukan? Ambil beberapa gaun yang kamu suka, dan pakailah salah satunya. Aku tunggu, kita akan sarapan bersama.”
“ba-baik!”
Terkadang aku berpikir. Apa boleh aku berharap, dibalik semua kebaikanmu kepadaku apa ada secercah perasaan suka yang sama sepertiku. Apa pantas pelayan sepertiku menjadi pendamping dirimu yang begitu berkilauan untukku. Tapi, aku takut.. aku benar-benar takut, bila semua itu hanya rasa kasianmu kedapaku. Sebuah rasa iba pada seorang gadis yang seumuran denganmu, gadis yang hidup sebagai budak dalam bisnis gelap.
Setelah selesai mengganti pakaian dengan gaun yang diberikan Putra, membuat diriku sedikit ragu untuk menggunakannya. Terlebih lagi saat aku menatap cerminan diriku dicermin, bagaikan seorang gadis bangsawan. Seandainya aku bisa menyetarakan statusku denganmu, seandainya aku bertemu denganmu tidak dalam status ini, atau seandainya aku tidak bertemu denganmu pasti aku tidak akan pernah merasakan hal ini. Perasaanku yang begitu menyukaimu membuat air mataku tergenang, kenapa aku begini lemah. Bukankah aku seharusnya bersyukur. Walau sebentar aku bisa mendampingimu. Sampai kamu bertemu dengan pasangan jiwamu.
Aku lupa, walau sebentar aku melupakan perkataan Putra untuk sarapan bersama. Air mata yang menggenang langsung aku seka, dan merapikan riasakan wajahku. Aku tersenyum, menatap diriku dicermin. Memberikan sedikit semangat untuk diriku. Aku berjalan dengan anggunnya menuju ruang makan, banyak para pelayan yang memujiku. Rasanya hal itu membuatku tenang dari kegelisahan yang aku rasakan. Perlahan namun pasti aku membuka pintu menuju ruang makan, dan membuat pandangan Putra teralih kepadaku. Tatapannya yang begitu lembut dengan tambahan sebuah senyuman membuat wajahku bersemu merah karena malu.
“Ternyata cocok. Kau begitu cantik, Kirana” puji Putra “dan riasanmu juga begitu alami, aku menyukainya. Nah, sekarang. Kita makan lalu berangkat.” Lanjutnya. Pujiannya benar-benar membuat dadaku berdegup kencang.
“ba-baik Tu—maksudku Putra..” saking gugupnya membuat lidahku keluh.
Singkat cerita. Dalam perjalanan Putra banyak cerita tentang perjalanannya. Mulai dari bisnis, pertemuannya dengan berbagai orang, dan hal-hal baru bagi hidupnya. Terkadang ceritanya membuatku tertawa. Namun, dari semua hal itu pembicaraan kami mulai terlihat serius saat dia membicarakan seorang gadis yang begitu menawan dan anggun. Salah satu dari anak pemilik perusahan yang bekerja sama dengannya. Gadis keturunan inggris, yang begitu cerdas dan serba bisa.
“Dia gadis yang hebat…” komentarku sambil tersenyum. Walau sebenarnya hatiku sangat sakit mendengarnya. Tapi, aku harus mendukungnya. Karena itu sudah menjadi pilihan Putra.
“Iya, dia gadis yang hebat. Dan dia juga ahli dalam berbisnis. Jarang sekali ada gadis yang seperti itu, aku senang bisa bertemu dengannya.” Ucapnya sambil tersenyum lalu menatapku. “Aku juga senang bertemu dengan Kirana. Kamu juga perempuan yang hebat, aku begitu menyayangimu…” tanganmu yang merangkul kepalaku dengan begitu lembutnya. Membuat dadaku sakit. Bila kamu tau perasaanku yang sebenarnya, apa kamu akan tetap seperti ini.
Sampai kapan kendaraan ini akan membawamu kedekapan orang yang sangat kau cintai. Sampai kapan aku akan selalu berada di dekapanmu. Sampai kapan aku melihat senyum dan merasakan sentuhanmu yang begitu lembut. Seandainya kau nyata untukku, seandainya aku bisa mengungkapkan perasakaanku dengan mudah kepadamu.
“Suka… saya menyukai anda…” ucapku berbisik. Ucapan itu keluar begitu saja, aku benar-benar tidak sadar telah mengucapkan hal itu. Rasanya aku tidak sanggup mendengar apa yang akan dikatakan Putra. Aku benar-benar bodoh.
“eh? Tadi kamu bilang apa, Kirana?” Tanya Putra. Syukurlah! Dia tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan. Kalau dia mendengarnya rasanya sungguh memalukan, dan aku tidak akan tau harus bersikap apa.
“Ti-tidak! Bukan apa-apa. Ah! Lihat itu Putra. Rumah yang begitu besar. Rumah itu indah sekali…” aku mengalihkan pembicaran. Mataku yang terpesona melihat bangunan yang begitu besar. Walau tidak sebesar kediaman utama Notonegoro, tetap saja itu hal yang menakjubkan.
“ternyata sebentar lagi kita sampai. Dan aku akan bertemu dengan Tunanganku.” Wajahmu yang terlihat sedikit murung membuatku memelukmu. Seharusnya bukan kamu yang terlihat seperti itu, seharusnya aku. Kenapa kau harus menunjukan wajah itu.
“Aku tak apa, Kirana. Ayo kita turun dan bertemu dengannya.” Kau lepas pelukanku. Dan keluar dari mobil yang tengah berhenti di depan pekarangan rumah itu. Aku mengikutinya dari belakang. Kami disambut oleh para pelayan, barang-barang kami pun juga dibawa mereka.
“Putra! Aku sudah lama menunggumu!” seorang gadis yang sangat cantik, terlebih lagi dengan rambut pirangnya yang tengah keluar dari dalam kediamananya. “Kamu juga membawa gadis yang manis. Apa dia juga untukku?” tatapan matanya sedikit membuatku takut, aku hanya bisa terus bersembunyi dibalik tubuh Putra.
“Aku tidak akan memberikan Kirana kepadamu, Ellen. Memangnya gaun yang segitu banyak masih kurang?” senyuman Putra ke Ellen tidak pernah kulihat sebelumnya. Entah kenapa dadaku benar-benar sakit karenanya.
“Kamu datang saja sudah cukup untukku, tapi hari ini aku tidak bisa menemanimu dulu. Sampai besok aku ada urusan bisnis.” Ellen merangkul lengan Putra “Kalau begitu ayo kita masuk..”
Aku mengikuti mereka berdua. Selama turun dari kendaraan aku hanya bisa diam, bahkan aku hanya menjawab pertanyaan seadanya. Aku tidak berani untuk mengatakan yang lebih. Dadaku sangat sakit.
“Kalau begitu, sekarang aku pergi dulu ya.” Kami mengantar Ellen menuju kendaraannya. Disaat mengantar kepergian Ellen, Putra masih asik bercengkrama dengan mesranya. “Dan kamu, tidak usah merasa segan untuk meminta tolong para pelayan yang ada disini. Karena kamu juga seorang tamu.” Ellen menatapku dengan lembut.
Aku mengangguk pelan. “Baik, nona Ellen…” jawabku, setelah itu membungkukan badan untuk memberinya hormat.
Kendaraan yang membawa Ellen telah berjalan. Putra yang mengandengkan tangannya mengajakku untuk masuk kedalam kediaman keluarga Alexandre. Kami yang tengah dijamu untuk makan malam menikmatinya berdua, seakan sedang berlibur di Villa sendiri.
“Kirana. Nanti malam bisa menemaniku?” ucap Putra, setelah selesai makan kita langsung menuju ruang tengah untuk bersantai.
“Tentu saja, memangnya anda ingin kemana?”
“Pekarangan rumah, dibelakang rumah ini terdapat taman yang cukup luas”
“kalau begitu baiklah, saya akan menemani anda.”
Suhu malam yang semakin dingin namun tidak menyurutkan keinginan Putra untuk mengajakku ke pekarangan keluarga Alexandre. Diatas kepala kami terlihat lautan bintang-bintang dihiasi bulan purnama yang begitu cantik. Cahaya bulan yang malu-malu menyinari pekarangan, malah dengan senangnya menunjukan pantulan dirinya di kolam kecil. Benar-benar memanjakan mata siapapun yang melihatnya.
“Tempat ini indah bukan? Aku mengajakmu karena ingin menunjukan tempat ini. Walau sebenarnya ada tempat lain yang lebih indah, namun tidak ada tempat untuk menginapnya. Aku tidak tega membiarkanmu tidur diluar.” Perkataanmu membuatku berharap. “Dan lagi, aku tidak suka melihat wajah murungmu.” Jemari tanganmu yang menyentuh pipiku dan tatapanmu yang begitu hangat.
Pipiku yang bersemu merah. Samar-samar telihat dibawah cahaya bulan. “Saya suka, Terima kasih tuan Putra.” Ucapku pelan bagai bisikan.
“aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Kirana.” Ucapanmu yang mulai serius, tubuhmu yang sedikit menjauhiku dan memandang indahnya taman yang ada dihadapan kita. “Aku akan menikahi Ellen bulan depan. Bagaimana pendapatmu?” kini tatapanmu beralih kepadaku. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Hal ini begitu cepat untukku.
“Apapun itu, saya pasti akan mendukung anda. Tapi walau sebentar, izinkan saya berada disisi anda. Ma-maaf kalau saya terlalu lancang…” tanpa aku sadari air mataku turun membasahi pipi. Kau yang sembari tadi menatapku, langsung mendekap tubuh mungil ini.
“Maafkan aku, Kirana. Seharusnya aku menyadarinya dari dulu.” Tatapanmu yang begitu lirih semakin membuatku sakit. Setiap ‘Pertemuan’ pasti akan ada ‘Akhir’. Dan aku benci akhir yang menyakitkan. “Maaf…” saat kau melepas dekapanmu, jemari tanganmu langsung menyeka air mataku.
Aku tersenyum dan menatapmu dengan penuh kesedihan. “Saya ingin mengatakan sesuatu.” Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. “Saya bersyukur bertemu dengan anda. Saat saya bertemu dengan anda, saya langsung menyukai anda. Mungkin saya lancang karna telah menyukai anda. Saya tau status saya, maka saya pendam semua perasaan saya. Saya terlalu takut untuk mengatakannya, anda begitu baik untuk saya. Terima kasih atas apa yang telah anda berikan untuk saya.” Aku tersenyum. Seakan senyumanku membuang semua rasa sakitku. Walau kadang masih terasa. Kau yang mendekapku membisikan permintaan maaf. Aku yang sudah mengira apa yang akan kamu katakana hanya bisa terdiam dalam dekapanmu dan merasakan kenyamanan ini untuk terakhir kalinya.
Aku bukan bulan yang dikelilingi bintang, dan mendapatkan cahaya matahari. Aku hanya pantulan bulan diatas air yang begitu gelap, dan hanyut akan kesendirian. Berharap sang matahari memberikan cahayanya. Harapan yang begitu tabu, dan tidak mungkin terjadi. Aku yang selalu berharap menggapaimu, namun terlalu takut untuk menerima kenyataan. Aku yang hanya bisa menatapmu dari jauh, namun begitu senang menerima semua kebaikanmu. Pantulan hanyalah sebuah hal semu yang tidak nyata. Namun, keberadaanku nyata. Begitupun dengan perasaanku, perasaan yang menyukaimu begitu nyata. Tapi, sekarang aku harus mengubur semua perasaanku kepadamu. Tidak mungkin aku terus membawa perasaan ini, dan terus menerus merasakan sakit.
Aku melepaskan dekapanmu, dan tersenyum sebisaku. “Saya mendoakan kebahagiaan untuk anda dan nona Ellen. Dan terima kasih telah memberikan sebuah hal yang terindah untuk saya.” Sekarang aku benar-benar sudah kuat.
“Begitu pun denganku. Tapi maukah kau tetap disampingku? Aku tidak bisa kehilangan dirimu. Kau pun begitu berarti bagiku, Kirana…” ucapmu, tanganmu yang terulur aku sambut sedang senangnya. Mungkin, bila bulan ada dua kamu bisa bersama dengan kedua bulan tersebut. Tanpa ada yang tersakiti karena hal ini.
“Saya akan selalu melayani anda”
Rasanya sudah hampir satu tahun lebih sejak kejadian itu. Kejadian itu benar-benar masih terlekat dikepalaku, kenangan yang begitu menyedihkan namun sangat berarti. Aku tidak pernah menyesal menyukaimu, karena dirimu membuatku mengerti apa itu kebaikan dan kasih sayang yang tidak pernah aku dapat. Sampai kapanpun aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan selalu setia disisimu. Walau bukan dalam status yang aku harapkan, namun hal itu sudah cukup. Karena kepercayaanmu membuatku tetap bertahan sampai sekarang. Bertahan dalam kehidupan yang fana dan perasaan yang bimbang ini.
“Ah. Bulan purnama yang indah. Sayang saya tidak bisa melihatnya bersama anda” Aku menikmati bulan purnama yang pertama kali sejak kejadian itu.
Walau terasa hampa, tetapi bulan itu begitu indah. Namun, aku tetap lebih menyukai pantulan bulan. Walaupun sendirian namun dia begitu dekat untukku.
Powered by Blogger.