- Back to Home »
- Informasion , Lainnya »
- Hikikomori
Posted by : Unknown
Thursday, 3 October 2013
“Hikikomori” Penyakit Remaja Jepang,Penyebab Hikikomori dan Cara Mengatasinya
Jepang merupakan negara maju terbesar di Asia. Tidak hanya maju secara ekonomi, tapi juga memiliki kemajuan di bidang teknologi, pendidikan, serta informasi. Namun disamping itu Jepang mengalami kemunduran di bidang sosial sebagai imbalan akan kemajuannya. Berbagai penyakit Psikologis menghantui masyaratat Jepang karena tingkat stress yang semakin tinggi.
Hikikomori adalah salah satu fenomena sosial yang sudah dan sedang terjadi di Jepang yang sudah sangat mengkhawatirkan masyarakat dan pemerintah Jepang karena lebih dari sejuta remaja Jepang pernah melakukan hikikomori.
Hikikomori adalah perilaku mengisolasi diri di dalam kamar dan menghilang dari aktifitas sosial di dunia nyata selama lebih dari satu tahun. Dengan demikian, para pelaku hikikomori, yang umumnya masih remaja, melakukan semua aktifitasnya di dalam kamar, atau paling jauh di dalam rumah.
Lantas bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhannya. Biasanya hikikomori akan keluar sebulan sekali untuk membeli perlengkapan “mengurung dirinya, mereka tetap mendapat uang dari orangtua, bahkan terkadang mereka memaksa orangtua untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal yang terekstrim adalah ada juga hikikomori yang menculik gadis kecil untuk “disimpan” sebagai “teman” di kamarnya. mereka mungkin akan melepaskan gadis tersebut kalau mereka ingin, atau gadis itu harus mencari jalan keluarnya sendiri, atau dia tidak akan pernah bisa keluar lagi.
Salah satu faktor penyebab dari semakin maraknya hikikomori adalah faktor teknologi, di mana kecanggihan teknologi, terutama kemudahan dalam akses internet, telah menyebabkan banyak remaja mengalami ketergantungan teknologi yang keblabasan. Semua aktifitas pertemanan dilakukan di dunia maya. Bahkan untuk berbelanja pun dilakukan secara online. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa remaja Jepang yang melakukan hikikomori adalah remaja yang anti sosial.
Mungkin orang akan menganggap hikikomori itu sama dengan otaku. Namun sebenarnya berbeda. otaku adalah orang yang memiliki minat atau hobi yang berlebihan sehingga mereka mengabaikan kegiatan yang lain, tapi mereka masih berinteraksi dengan keluarga atau tenar di dunia nyata. Seperti penggemar komik yang berlebihan, atau orang yang suka dengan model kit secara berlebihan. Namun semua hikikomori itu otaku, karena pelarian dari beban mereka adalah dengan memfokuskan diri pada hal yang mereka sukai agar mereka tidak teringat akan sakitnya pergaulan sosial itu.
Ada banyak alasan yang jadi latar belakang mengapa seseorang menjadi Hikikomori. Bagi Hide seorang remaja Jepang penderita Hikikomori, masalah muncul saat ia tak sanggup lagi ke sekolah. ”Aku mulai menyalahkan diri sendiri. Orangtuaku juga menyalahkanku karena tak pergi ke sekolah. Kian lama tekanan terasa makin besar,” kata dia. ”Lalu, aku mulai takut keluar rumah dan takut bertemu orang lain. Hingga akhirnya aku tak mampu beranjak dari rumah.
Secara bertahap, Hide memutuskan komunikasi dengan orang lain, pertama dengan teman-temannya, lalu orang tuanya. Sehari-hari, ia hanya tidur, dan bila terjaga, ia pasti sedang menonton televisi. ”Aku memiliki semua emosi negatif,” kata pria itu. “Keinginan untuk keluar rumah, kemarahan pada masyarakat dan orangtua, sedih karena berada dalam kondisi ini, takut akan apa yang akan terjadi di masa depan, dan iri dengan orang-orang yang menjalani kehidupan normal — semua campur aduk”.
Tamaki Saito, seorang psikiater ternama mengaku, pada tahun 1990-an, ketika fenomena ini belum dikenal luas, ia dibanjiri permintaan tolong para orangtua yang ingin membantu anak-anak mereka yang mengasingkan diri. Saat itu, kebanyakan pelakunya adalah anak lelaki, berusia rata-rata 15 tahun, dari keluarga kelas menengah, menarik diri dalam jangka waktu bulanan sampai tahunan. Pemicunya ada beragam. Bisa karena nilai sekolah yang jelek atau patah hati. Atau tak kuat dan tak mampu menanggung harapan serta tuntutan besar orang tua dan masyarakat. Namun, penarikan diri berakar dari trauma. Dan kekuatan sosial bisa membuat mereka makin lama berada di dalam kamar. ”Pikiran mereka tersiksa,” kata dia. “Mereka ingin keluar, kembali ke dunia. Ingin berteman atau memiliki kekasih, tapi mereka tak mampu,” kata Tamaki Sato.
Orang tua pun ikut menderita menghadapi kondisi itu. Salah satunya Yoshiko. Putranya secara bertahap menarik diri dari masyarakat saat berusia 22 tahun. Awalnya, ia masih suka berbelanja. Tapi semenjak itu bisa dilakukan online lewat internet, ia tak lagi pernah keluar rumah. Kini, putranya itu berusia 50 tahun. Sudah paro baya. ”Kupikir putraku kehilangan daya, bahkan untuk menginginkan sesuatu, untuk melakukan apa yang ia ingin lakukan,” kata perempuan sepuh itu. “Mungkin dulu ia punya sesuatu yang ingin dilakukan, tapi kupikir, aku yang telah menghancurkannya.”
Dan ternyata, fenomena hikikomori ini tak hanya terjadi di Jepang. Sejumlah menceritakan pengalamannya, menarik diri dari dunia. ”Aku menarik diri dari masyarakat sejak 12 tahun lalu. Hingga kini belum pulih, aku masih menghabiskan waktuku sendiri. Aku tak bekerja, tidak ke luar rumah, dan bertahan hidup dari jaminan sosial,” kata Nicholas dari Massachusetts, AS. Dia mengatakan, masalah utama yang dihadapi orang-orang sepertinya adalah ketakutan luar biasa menghadapi kegagalan — meski itu belum terjadi.
Sementara, Darren, asal London mengaku tak punya harga diri, kepercayaan diri, dan tak punya teman. Masalah yang menderanya sejak sekolah dasar. Meski tetap bekerja demi bertahan hidup, Daren menghabiskan waktu luangnya di kamar. Memendam iri pada orang lain, yang menurutnya, menjalani hidup dengan mudah. Di usia 43 tahun ini ia masih tinggal bersama orangtuanya. “Jika mereka memaksaku pindah, satu-satunya cara adalah menempatkan jasadku di kantung mayat.” Bahkan seseorang pensiunan dosen astrofisika pun merasakan hal yang sama. Inisialnya P, asal California. Ia mengaku tak bisa bergaul dan tak punya teman. Di masa mudanya, ia melarikan diri dengan belajar sains dan matematika. Dan kini, “Aku merasa, dalam jangka panjang, aku akan hidup dan mati di jalanan,” kata dia.
Sementara, Watila, dari Tamil Nadu, India mengaku, penarikan diri awalnya menjadi jalan keluar baginya, tapi membuat tubuhnya susut hingga 9 kilo. Ia tahu benar, jika diteruskan, pasti dia segera mati. Watila pun mulai membaca buku-buku yang membuatnya tertawa, main Facebook, game, dan mulai membuka diri dan mengakui kondisinya pada sejumlah teman. Bantuan dan doa pun berdatangan. “Namun, langkah pertama, yang terpenting bagiku saat itu, adalah bertekad dan mengatakan, ‘aku ingin keluar dari kegelapan ini’,” kata dia.
Powered by Blogger.